Demo supir taksi di Jakarta yang
berlangsung pada tanggal 22 Maret 2016 menjadi potret buruk bagi dunia
kehumasan di Indonesia. Reputasi taksi berlogo burung biru yang dibangun
generasi ke generasi ini runtuh hanya dalam hitungan beberapa jam sejak demo di
mulai.
Di tahun tahun kejayaannya
masyarakat hanya percaya Blue Bird. Meskipun harga yang dipatok lebih
mahal ketimbang merek taksi lainnya, namun mempertimbangkan pelayanan supir,
kejujuran, dan keamanan, membuat orang tidak melirik taksi lain.
Viral yang beredar di media
massa juga turut mendukung reputasi perusahaan taksi yang didirikan pada 1972
ini. Mulai dari barang tertinggal yang dikembalikan oleh penggunanya, sampai kepada
argo yang selalu sesuai dan nyaris tidak pernah terdengar terjadi pengalaman
buruk dari konsumen.
Sejatinya tugas Humas
menurut IPRA (International Public
Relations Assosiation) adalah bagaimana berkomunikasi antara
organisasi dengan publik melalui media yang bertujuan untuk membangun dan
memelihara citra positif dan membangun hubungan yang kuat dengan khalayaknya.
Lebih lanjut di dalam
situasi krisis, Humas berperan vital. Profesi tersebut dituntut kemampuan mendesain untuk melindungi dan mempertahankan reputasi perusahaan
dalam menghadapi tantangan publik.
Menyimak kejadian kemarin, tidak
hanya supir bermotif burung biru saja yang melakukan demo. Dan meskipun ada
pihak perusahaan taksi bertuliskan Express,
namun publik lebih menyoroti tajam Blue
Bird.
Selain faktor runtuhnya
kepercayaan publik yang dipegang selama ini, sikap reaktif manajemen termasuk
layanan gratis yang dikomunikasikan pada saat jumpa pers hanya menjadi
bulan bulanan warganet yang hari itu memantau aktif melalui media sosial.
Lantas bagaimana peranan Humas
yang selaiknya mampu membalikan krisis menjadi satu titik balik perusahaan
dalam memperoleh simpati dan dukungan dari publik?
Publik memerlukan sikap Blue Bird yang bekerja sama dengan
aparat, pemerintah ataupun tindakan yang mengakomodir yang dapat memberikan
ketenangan pada publik. Antisipasi apa yang dilakukan, bukan bersikap seakan
bukan menjadi tanggung jawab perusahaan, padahal pendemo jelas jelas membawa
nama korporat Blue Bird, mulai dari
merek transportasi sampai kepada seragam yang merupakan identitas korporat.
Dari analisis tersebut dapat dikatakan bahwa dalam kasus demonstrasi ini telah
melanggar Kode Etik Humas pasal 1 mengenai Norma-Norma
Perilaku Profesional.
Publik juga memerlukan suatu
tindakan nyata yang dapat meredam chaos yang terjadi hari itu, dan
bukannya gratis esok hari, di mana sudah tidak ada kepercayaan lagi. Publik
menanti sikap manajemen Blue Bird
dalam menghadapi perubahan dan bukannya perlawanan terhadap kemajuan teknologi
yang tidak dapat dibendung.
Dan satu hal yang mutlak adalah
Humas Blue Bird perlu memanfaatkan
komunikasi digital sebagai pusat komunikasi dan krisis. Sehingga mampu
membangun komunikasi yang engage langsung kepada publik, sesuai dengan
Kode Etik Humas pasal 3 mengenai Media
Komunikasi.
Dengan demikian, setelah Blue Bird membuat rumusan yang mampu
menjawab krisis bisnis angkutan umum konvensional ini, Humas juga harus mampu
mengkomunikasikannya dengan memanfaatkan media sosial sebagai media komunikasi
dengan konsumen, karyawan dan masyarakat umum, khususnya netizen sebagai publik
yang memegang kunci komunikasi. Sehingga pada akhirnya membangun opini publik
positif dan berdampak terhadap reputasi Blue Bird.
Berkaca pada krisis yang lalu di
mana perusahaan penerbangan Malaysia, Air Asia, Tony Fernandes mampu
mengambil simpati publik melalui komunikasi langsung sebagai seorang CEO lewat
Twitternya dengan menyentuh setiap konsumen, karyawan, bahkan masyarakat umum
dan pada akhirnya mampu membangun opini publik positif yang berdampak terhadap
reputasi perusahaan.
Komentar
Posting Komentar